New Publik Management, Reformasi Akuntansi Sektor Publik Dan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Standard

Latar Belakang

Organisasi sektor publik sering digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, miskin inovasi dan kreativitas, serta berbagai kritikan lainnya. Munculnya kritik keras yang ditujukan kepada organisasi-organisasi sektor publik tersebut kemudian menimbulkan gerakan untuk melakukan reformasi manajemen sektor publik. Salah satu gerakan reformasi sektor publik adalah dengan munculnya konsep New Public Management (NPM).

Konsep new public management pada awalnya dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Apabila dilihat dari perspektif historis, pendekatan manajemen modern di sektor publik pada awalnya mucul di Eropa tahun 1980-an dan 1990-an sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. Penekanan NPM pada waktu itu adalah pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pemberian pelayanan publik .New Public Management telah mempengaruhi proses perubahan organisasi sektor publik secara komprehensif di hampir seluruh dunia.

 Orientasi New Public Management

Secara khusus, NPM hendak mengukur apa yang sudah dilakukan oleh sektor publik pemerintah. Pengukuran salah satunya dilakukan atas kepuasan warga negara atas layanan yang diberikan pemerintah. Juga pelayanan yang melibatkan partisipasi publik meski dalam skala pasif saja.

Di dalam sistem pemerintahan dikenal istilah New Public Management yang merupakan paradigma baru pada tahun 1990-an yang kosepnya terkait dengan manajemen kinerja sektor publik. NPM pada awalnya lahir di negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Namun, negara-negara berkembang juga mulai menggunakan konsep ini

Negara merupakan alat masyarakat dalam rangka mempertahankan eksistensinya baik secara intern msupun ekstern. Sedangkan pemerintah merupakan alat negara yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu pemerintah merupakan alat masyarakat yang berfungsi memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

New Publik Management (NPM) adalah paradigma baru dalam manajemen sektor publik. NPM biasanya dikawankan dengan Old Publik Management (OPM). Konsep NPM muncul pada tahun 1980-an dan digunakan untuk melukiskan sektor publik di Inggris dan Selandia Baru. NPM menekankan ada control atas output kebijakan pemerintah, desentrallisasi otoritas menajement, pengenalan pada dasar kuasi-mekanisme pasar, serta layanan yang berorientasi customer.

Tema pokok dalam New Public Management (NPM) ini antara lain bagaimana menggunakan mekanisme pasar dan terminologi di sektor publik. Bahwa dalam melakukan hubungan antara instansi-instansi pemerintahan dengan pelanggannya (customers) dipahami sama dengan proses hubungan transaksi yang dilakukan oleh mereka dunia pasar (market place). Dengan mentransformasikan kinerja pasar seperti ini maka dengan kata lain akan mengganti atau mereform kebiasaan kinerja sektor publik dari tradisi berlandaskan aturan (rule-based) dan proses yang menggantungkan pada otoritas pejabat (authority-driven processes) menjadi orientasi pasar (market-based), dan dipacu untuk berkompetisi sehat (competition-driven tactics).

Konsep New Public Management (NPM) ini dapat dipandang sebagai suatu konsep baru yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan oleh instansi dan pejabat-pejabat pemerintah. Dengan konsep seperti inilah maka Christopher Hood dari London School Of Economic (1995) mengatakan bahwa New Public Management (NPM) mengubah cara-cara dan model bisnis privat dan perkembangan pasar. Cara-cara legitimasi birokrasi public untuk menyelamatkan prosedur dari diskresi administrasi tidak lagi dipraktikan oleh New Public Management (NPM) dalam birokrasi pemerintahan.

Untuk lebih mewujudkan konsep New Public Management (NPM) dalam birokrasi publik, maka diupayakan agar para pemimpin birokrasi meningkatkan produktivitas dan menentukan alternatif cara-cara pelayan publik berdasarkan perspektif ekonomi. Mereka didorong untuk memperbaiki dan mewujudkan akuntabilitas publik kepada pelanggan, meningkatkan kinerja, restrukturisasi lembaga birokrasi publik, merumuskan kembali misi organisasi, melakukan streamlining proses dan prosedur birokrasi, dan melakukan desentralisasi proses pengambilan kebijakan.

Vigoda dan Keban (Pasolong, 2007:34), mengungkapkan bahwa ada 7 (tujuh) prinsip-prinsip NPM, yaitu:

  1. Pemanfaatan manajemen professional dalam sektor publik
  2. Penggunaan indikator kinerja
  3. Penekanan yang lebih besar pada kontrol output
  4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil
  5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi
  6. Penekanan gaya sektor swasta pada penerapan manajemen
  7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya

Pentingnya New Public Management

Tema sentral dalam manajemen public adalah upaya mereformasi sector public agar tujuan yang dicapai lebih efektif,efesien dan ekonomis,semata-mata hanya menunjukan kepada kita tentang hubungan antara Negara (the state) dan pasar (the market) dan tekanan lebih eksplisit ditujukan pada adanya dominasi preferensi individu terhadap penyediaan barang dan jasa atas preferensi kolektif. Kita perlu menyadari bahwa pemerintahan yang modern itu bukan hanya sekedar mencapai tujuan efisiensi tetapi tentang hubungan akuntabilitas terhadap Negara dengan warga Negaranya yaitu warga meminta agar tidak diperlakukan hanya sebagai konsumen dan pelanggan tetapi mereka juga memiliki hak untuk menuntut pemerintahannya bertanggung jawab atas tindakan yang diambil atau kegagalan dalam bertindak /melakukan sesuatu.

Warga Negara menghendaki pemberian pelayanan yang efisien ,pengenaan pajak yang rendah dsb,tetapi mereka juga menginginkan agar hak-haknya dilindungi,suaranya didengar,nilai-nilai dan preferensinya dihargai sanksi mutlak yang ada ditangan warga Negara atas rendahnya mutu pelayanan yang diperoleh adalah dengan menolak dan menuntut mundur kepada mereka yang secara politis bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan yang bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan warga Negara. Penyediaan anggaran yang cukup,persaingan, penetapan standar mutu kerja dan sebagainya. Mungkin dibutuhkan untuk mewujudkan manajemen yang baik dan pemanfaatan sumber-sumber yang efisien, tetapi bila upaya perbaikan ini menghasilkan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan warga, maka warga sebagai pemilih dalam pemilu akan berontak dan tidak memilih nya lagi.

Model Pemerintahan di Era New Public Management

Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan konsep “reinventing government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:

  1. Pemerintahan katalis : fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Produksi pelayanan publik oleh pemerintah harus dijadikan sebagai pengecualian, dan bukan keharusan, pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah.
  2. Pemerintah milik masyarakat : memberdayakan masyarakat daripada melayani. Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community).
  3. Pemerintah yang kompetitif : menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
  4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi : mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
  5. Pemerintah yang berorientasi hasil : membiayai hasil bukan masukan. Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan.
  6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan : memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi.
  7. Pemerintahan wirausaha : mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan.
  8. Pemerintah antisipatif : berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah tradisonal yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik.
  9. Pemerintah desentralisasi : dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja.
  1. Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar : mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam mengalokasi sumberdaya. Pemerintah tradisional menggunakan mekanisme administratif yaitu menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut). Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar yaitu tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat

Kelemahan Penerapan New Public Management (NPM)

Setiap paradigma akan selalu punya kelebihan dan kekurangannya dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ada dalam birokrasi. Latar belakang lahirnya paradigma serta kondisi dan konteks dimana paradigma tersebut sukses dilaksanakan sering jauh berbeda dengan kondisi dimana paradigma diterapkan dan akan diterapkan. Karena itu sering terjadi bahwa paradigma yang telah berhasil di tanah kelahirannya atau di daerah-daerah tertentu kadang tidak mampu diterapkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan birokrasi di daerah-daerah lainnya. Karena yang sering terjadi adalah paradigma tersebut justru tidak membawa perubahan tetapi sebaliknya justru semakin menambah kompleksitas permasalahan yang ada dalam birokrasi atau pemerintahan.

Demikian juga dengan paradigma new public management yang diusung oleh Osborne dan Gaebler dalam mereformasi kinerja birokrasi. Walaupun telah berhasil diterapkan di beberapa negara termasuk di tanah kelahirannya, paradigma ini tetap memiliki beberapa kekurangan serta kelemahan yang menjadikannya sulit untuk diterapkan dalam konteks birokrasi Indonesia dan di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang belum mapan secara merata. Beberapa kelemahan dan kekurangan yang termuat dalam paradigma ini terlihat dalam konsep mewirausahakan birokrasi. Konsep mewirausahakan birokrasi yang diusung oleh new public management masih terkesan buat dirinya sendiri. Karena logika yang dibangun oleh new public management  adalah sebuah logika yang berorientasi pada pasar yang mengutamakan keuntungan bagi dirinya dan bukan pada pelayanan publik.

Selain itu, berangkat dari logika yang ada dan berbagai tawaran struktural yang ditawarkan oleh new public management jelas terungkap adanya sebuah upaya untuk “memasarkan” birokrasi dengan menerapkan logika pasar. Dalam hal ini, masyarakat sebagai obyek pelayanan akan sering dijadikan sebagai konsumen dan birokrasi sebagai pemberi pelayanan menjadi produsen. Pola kerja birokrasi diubah dalam sebuah etika mekanisme pasar dengan menjunjung tinggi keefektifan dan efesiensi. Pelayanan diibaratkan sebagai hasil produksi yang harus dibeli oleh masyarakat dimana sebuah transaksi ekonomi  tercipta yang mana rakyat dilihat sebagai pembeli dan birokrasi sebagai produsen yang memberikan pelayanan. Sehingga ,berangkat dari berbagai pola ini menjadi jelas bahwa masyarakat yang kemudian tidak berdaya secara ekonomi, tidak akan mampu dan tidak akan mempunyai kekuatan untuk mengakses berbagai pelayanan publik yang ada.

Oleh karena itu berangkat dari cita-cita mekanisme pasar yang diusung oleh paradigma new public management diperlukan sebuah proses filterisasi terlebih dahulu bagi paradigma ini sebelum diterapkan dalam konteks Indonesia. Karena berbagai mimpi tentang mekanisme pasar yang coba diusung oleh new public management atau birokrasi pasar hanya akan bisa dan mungkin berlaku dalam kondisi masyarakat yang telah mapan baik secara ekonomi maupun secara politik. Jika mimpi new public management ini diterapkan dalam konteks Indonesia maka kondisi yang tercipta adalah sebuah konteks pelayanan dimana uang sebagai parameter utama pelayanan. Kemudian dalam posisi ini hanya mereka yang mempunyai kekuatan ekonomilah yang akan mampu dan dengan mudah mengakses dan menerima berbagai pelayanan publik. Sedangkan di pihak lain yakni pihak-pihak yang tidak mempunyai kekuatan modal akan kesulitan mendapatkan pelayanan dan dinomorduakan dalam proses pemberian pelayanan.

Hal ini tentunya berlawanan dengan peran birokrasi sebagai salah satu alat negara yang bertugas untuk melayani masyarakat. Karena yang terjadi  adalah negara hanya memperhatikan mereka yang memiliki kapasitas ekonomi yang secara logis sudah hidup diatas kemapanan dan yang miskin akan semakin terpinggirkan. Sehingga dengan demikian menjadi jelas bagaimana sulitnya paradigma ini jika diterapkan dalam konteks Indonesia. Yang mana jika tetap berani diterapkan akan bisa dipikirkan seberapa kompleks persoalan permasalah yang akan muncul dalam dikemudian hari.

Berbagai pelaksanaan di berbagai negara berkembang termasuk di Indonesia, new public management justru menghadapi berbagai permasalahan serupa seperti yang terlampir di atas. Bahkan lebih jauh melihat berbagai fenomena yang terjadi dalam sistem birokrasi Indonesia berkaitan dengan penerapan paradigma new public management. adanya muatan neo-lib dalam berbagai penyelenggaran kebijakan publik yang ditawarkan oleh paradigma new public management. Di mana semangat kapitalis mulai merasuki berbagai kebijakan-kebijakan yang diambil dengan cara menjual belikan aset-aset negara, yang secara mendasar memiliki peran paling penting dalam proses pelayanan terhadap masyarakat. Kemudian yang terjadi adalah pasar mendominasi seluruh berbagai kebijakan yang ada dan mekanisme pasar menjadi sebuah tuntutan paling utama dalam proses pelayanan. Karena itu dari berbagai hal ini dapat di katakan bahwa sebaik apapun berbagai kebijakan yang ditawarkan oleh new public management, paradigma ini tetap tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam konteks dan kondisi Indonesia saat ini.

 

Reformasi Akuntansi Sektor Publik

Reformasi akuntansi sektor publik, yang dalam hal ini dimaksudkan adalah reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia disebabkan oleh pengaruh eksternal dan internal. Faktor eksternal diakibatkan oleh pengaruh globalisasi yang demikian kuat Termasuk new publik management. Reformasi akuntansi sektor publik dalam dunia internasional terjadi di banyak negara. Buruknya kinerja pemerintahan di banyak negara pada masa lalu seperti semakin meningkatnya hutang negara, pemborosan, ketidakefisienan, buruknya pelayanan publik mendorong reformasi sektor publik, berbagai istilah pada tahun 1990-an mencerminkan adanya perubahan di sektor publik seperti reenventing government, value for money, good governance dan new publik management.

Pada umumnya reformasi akuntansi sektor publik di negara-negara dunia, bermula dari fase akuntansi tradisional menuju akuntansi modern. Pada awalnya pembukuan akuntansi pemerintahan secara tradisional menganut basis akuntansi kas dengan pencatatan single entry. Reformasi menuju akuntansi modern merubah cash basis menjadi accrual basis.

Sebuah simposium internasional di Beijing tahun 2001 diadakan untuk mempelajari berbagai upaya reformasi anggaran dan akuntansi sektor publik di banyak negara. Pada simposim tersebut  (Chan, 2001) menyatakan bahwa pada dasarnya reformasi akuntansi sektor publik dapat dikelompokkan dalam dua model. Model Anglo-American dan Model Continental European, Model Continental percaya bahwa akuntabilitas eksekutif terhadap parlemen adalah cukup, sedangkan model Anglo-American menekankan akuntabilitas dilakukan baik eksekutif maupun parlemen kepada publik

 

Perubahan Basis Akuntansi Sektor Publik

Tweedie mengungkapkan bahwa standar akuntansi dihasilkan dari lima interaksi, yaitu: peristiwa ekonomi, kepentingan pribadi, penyebaran ide-ide, perjalanan sejarah dan pengaruh internasional. Sementara itu Nobes dan Parker mengatakan faktor budaya, sosial dan politik merupakan faktor dominan yang mempengaruhi regulasi akuntansi di berbagai negara.

Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi sektor publik di Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry bookkeeping dan perubahan basis akuntansi yakni akuntansi berbasis kas menjadi berbasis accrual.

Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang auditable. Cash basis mempunyai kelebihan antara lain mencerminkan informasi yang riil dan obyektif. Sedangkan kelemahannya antara lain kurang mencerminkan kinerja yang sesungguhnya.

Akuntansi berbasis accrual dinilai dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan. Pengaplikasian accrual basis lebih ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik, sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal dan sustainable.

Pengaplikasian accrual basis memberikan gambaran kondisi keuangan secara menyeluruh (full picture), yang meliputi manajemen sumber daya (resource management) dan manajemen utang (liability management), dan menyediakan indikasi kekuatan fiskal jangka panjang dalam reformasi manajemen keuangan dan reformasi manajemen lainnya (Mellor, 1996).

Penekanan penggunaan accrual basis juga disyaratkan dalam GASB dan diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya seperti going concern, consistency of presentation, materiality and aggregation untuk mewujudkan comparative information (IFAC- IFRS). Namun demikian, accrual accounting mempunyai beberapa kelemahan antara lain penilaian dan revaluasi aset yang didasarkan atas taksiran dan penggunaan estimasi dalam penghitungan depresiasi (Conn, 1996). Beberapa negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan dari cash basis menjadi accrual basis.

Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu dilakukan analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah faktor sosiologi masyarakat (Yamamoto, 1997).

Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2008. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa laporan keuangan untuk tujuan umum disusun dan disajikan dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana dan yang terakhir dengan PP No. 71 Tahun 2010 tentan Standar Akuntansi Pemerintahan dan Pemerdagri No 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual Pada Pemerintah Daerah

Tabel Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Negara/Daerah di Indonesia

Pra – otonomi daerah & desentralisasi fiscal 1999 Transisi Otonomi (Reformasi Tahap I) Pascatransisi Otonomi (Reformasi Tahap II)
 

  • UU No. 5 Tahun 1974
  • PP No 5&6 Tahun 1975
  • Manual Administrasi Keuangan Daerah

 

 

  • UU No 22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999
  • PP No.105 Tahun 2000 dan PP No.108 Tahun 2000
  • Kepmendagri 29 tahun 2002
  • Peraturan Daerah
  • Keputusan KDH

 

 

  • UU No 17 Tahun 2003
  • UU No.1 Tahun 2004
  • UU No.15 Tahun 2004
  • UU No. 32 Tahun 2004
  • UU No.33 Tahun 2004
  • PP No.24 Tahun 2005
  • PP No. 71 Tahun 2010
  • Revisi PP No.105 Tahun 2004
  • Revisi PP 108 Tahun 2000
  • Revisi Kepmendagri No.29 Tahun 2002

 

 

 

 

Tindak Pidana Korupsi

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus  maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• Perbuatan melawan hukum:
• Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
• Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• Penggelapan dalam jabatan;
• Pemerasan dalam jabatan;
• Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Di Indonesia korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Berdasakan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya. Sedangkan Pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia

Menurut Bank Dunia bahwa korupsi di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan seperti Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi

Pada tahun 2012, dilaporkan oleh Transparansi Indternasional bahwa Indeks tingkat korupsi di Indonesia naik dari peringkat 100 menjadi 118. Survei tersebut dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia. Peringkat baru tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia

Pada masa sesudah reformasi keinginan masyarakat untuk menegakkan hukum dan menghukum para pelanggar hukum atau orang-orang yang diduga melakukan kejahatan sungguh luar biasa besarnya. Keinginan ini ternyata bukan hanya keianginan masyarakat saja, tetapi juga menjadi program dari pemerintah. Hal ini dapat kita ikuti mulai dari kampanye pemilihan anggota legislatif sampai pada kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditahun 2004 dan 2009 dan yang baru saja di lalui yakni pemilihan anggota legislatif tahun 2014. Bahkan setiap penggantian pemerintah pemberantasan korupsi selalu menjadi program utama dari pemerintah

Lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini oleh banyak pihak tidak jarang dinyatakan sebagai superbody, karena wewenangnya yang luar biasa besar, KPK diberi tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi. Wewenang yang luas itu termasuk, memonitor penyelenggaraan pemerintah serta melakukan tindakan pro justitia dan upaya paksa tertentu. Dalam waktu relative singkat sudah ribuan laporan masyarakat yang disampaikan kepada KPK. Menyikapi laporan masyarakat ini kita saksikan KPK bertindak maksimal, mulai dari kasus pembelian helikopter Suap Anggota KPU dan lain-lain

Tidak mau kalah dengan para pendahulunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), berdasarkan Keputusan Presiden No.11 Tahun 2005. Tim ini dibawah kendali Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji. Tugas pokok dari Tim ini adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara korupsi; selain itu Tim ini juga bertugas untuk mencari dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi serta menelusuri asset dalam rangka pengambalian keuangan Negara secara optimal. Timtas Tipikor ini secara langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Namun ternyata Timtas Tipikor ini tidak berumur lama, karena tidak menghasilkan kebaikan malah justru menimbulkan korupsi baru Kinerja Timtas Tipikor dianggap tidak berhasil. Tim ini dibubarkan pada tahun 2007

 

Korupsi dan Budaya (Dilema Etika)

Sulit untuk menyangkal bahwa peran adat istiadat dan tradisi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penegakan hukum dan pembangunan demokrasi dan politik sangat besar. Salah satu contoh adalah budaya memberi hadiah atau tidak jarang kita sebut budaya memberi oleh-oleh dalam kehidupan sehari-hari. Sementara pada sisi yang lain, secara hukum, memberi hadiah itu dapat digolongkan sebagai gratifikasi.

Bahkan ketentuan UU Tipikor, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dengan demikian, maka untuk memahami konsep pemberian hadiah dan korupsi ini tidak bisa hanya dilakukan pendekatan dari hukum positif semata, tetapi harus ada juga pendekatan secara budaya atau adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Karena korupsi itu, sesungguhnya bukan hanya urusan pengadilan, tetapi masalah bagi semua manusia yang hidup dalam satu komunitas. Dari beberapa penelitian, pada masyarakat tertentu pemberian itu bukanlah termasuk pada kategori suap, bahkan pemberian itu dianggap hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa negara yang pendudukanya cukup banyak sebagai penganut konfusius masyarakat cina misalnya, sebagai contoh dalam mengatur bisnis, karena adanya hubungan pribadi yang didasarkan kepada kehormatan pribadi, persahabatan atau kewajiban bersama dalam jangka panjang. Bisnis cukup banyak berhubungan dengan keluarga, sementara pada konsep Barat bisnis disandarkan kepada perjanjian secara tertulis dan ditegakkan dengan hukum yang ketat dan keras. Inilah salah satu perbedaan pokok dalam prilaku berbisnis, antara Barat dan Timur. Perbedaan sistem berbasis aturan dan berbasis hubungan hanya salah satu dari banyak perbedaan budaya, dan kedua model ini tentu melahirkan norma-norma etika yang berbeda, terutama dalam hubungan bisnis

Pada negara tertentu hubungan bisnis yang dibangun berdasarkan perkoncoan disebut sebagai nepotisme dan diangap sebagai kejahatan. Sedangkan pada bagian dunia yang lain, hal ini diangap biasa dan lumrah. Akibat dari sistuasi ini, apa yang dianggap sebagai korup di Barat, tidak korup di sebagian negara timur.  Perbedaan penilaian terhadap sesuatu, sebagai korupsi dalam keseharian kita tentu saja masih terjadi. Terutama berhubungan dengan praktik, yang kita sebut sebagai tanda terimakasih. Meskipun faktanya tanda terimakasih itu selalu berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan yang telah dilakukan. Sehingga acapkali kita menyaksikan dalam keseharian kita pejabat publik menerima tanda terimakasih

 

Strategi Pemberantasan Korupsi

Klitgaard (2001)  membuat persamaan sederhana untuk menjelaskan pengertian korupsi sebagai berikut:

C = M + D – A

C = Corruption / Korupsi

M = Monopoly / Monopoli

D = Discretion / Diskresi / keleluasaan

A = Accountability / Akuntabilitas

Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas).

Berdasarkan persamaan yang dikemukan oleh klitgaard tersebut maka untuk dapat salah satu langkah yang dapat mencegah ataupun mengurangi korupsi ialah dengan menggunakan logika persamaan terbalik yang dapat digambarkan di bawah ini :

  1. Membatasi Monopoli Seseorang

Seseorang yang memiliki monopoli terhadap urusan tertentu sangat berpotensi untuk melakukan korupsi hal ini didukung karena posisi yang mendominasi, sehinnga demikian monopoli seseorang harus dibatasi baik dari sisi urusan tertentu maupu pada kebijakan yang dikeluarkan oleh yang bersangkutan

  1. Mengurasi Diskresi

Diskresi merupakan keleuasaan sesorang yang biasanya diikuti dengan kekuasaan atau melekat pada kekuasaan sehingga keleluasaan yang berlebihan dalam kekuasaan sangat rentan dengan penyalahgunaan yang berakibat pada tindakan-tindakan melawan hukum seperti perbuatan korupsi dan lain sebagainya,untuk ini mengurangi atau membatasi diskresi menjadi sangat penting sebagai upaya preventif terhadapa dampak yang di akibatkan oleh korupsi.

  1. Meningkatkan Akuntabilitas

Akuntabilitas yang lemah hanya akan membuat seseorang atau lembaga tertentu yang diberikan tanggungjawab untuk mengurusi kepentingan masyarakat umum akan cenderung melakukan perbuatan yang hanya akan mememntingkan kepentingan pribadi maupun kelompok, hal ini disebabkan akuntabilitas yang seharusnya disampaikan kepada publik menjadi chek and balance,  seseorang atau lembaga akan merasa dikontrol oleh masyarakat yang memberikan amanah kepadanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum, dengan demikian akuntabilitas menjadi syarat mutlak yang harus senantiasa didorong dan ditingkatkan guna menghindari perbuatan maupun kebijakan yang diambil mengarah pada perbuatan korupsi.

 

Kesimpulan

New Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat penting dalam mereformasi sektor publik sebagai lembaga atau instutusi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. New Public Management sebagai pola pengelolaan baru yang diterapkan pada sektor publik tidak hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup aspek politik, sosial, kultural, dan hukum yang berpengaruh pada lembaga-lembaga publik  yang dimana berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit sector).

Berangkat dari cita-cita mekanisme pasar yang diusung oleh paradigma new public management diperlukan sebuah proses filterisasi terlebih dahulu bagi paradigma ini sebelum diterapkan dalam konteks Indonesia. Karena berbagai mimpi tentang mekanisme pasar yang coba diusung oleh new public management atau birokrasi pasar hanya akan bisa dan mungkin berlaku dalam kondisi masyarakat yang telah mapan baik secara ekonomi maupun secara politik

Reformasi akuntansi sektor publik, yang dalam hal ini dimaksudkan adalah reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia disebabkan oleh pengaruh eksternal dan internal. Faktor eksternal diakibatkan oleh pengaruh globalisasi yang demikian kuat Termasuk new publik management. Reformasi akuntansi sektor publik dalam dunia internasional terjadi di banyak negara. Buruknya kinerja pemerintahan di banyak negara pada masa lalu seperti semakin meningkatnya hutang negara, pemborosan, ketidakefisienan, buruknya pelayanan publik bahkan tak jarang kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam penegelolaan mendorong reformasi sektor publik.

Memberantas korupsi itu bukan sesuatu yang mudah. Proses pembuktian dalam perkara korupsi juga tidak mudah. Prosesnya juga adalah peoses yang panjang. Meksipun korupsi itu harus dilawan, yang tidak kalah penting dalam memberantas korupsi itu, prosesnya harus dilakukan secara adil dan beradab. Di samping itu untuk memahami konsep pemberian hadiah dan korupsi ini tidak bisa hanya dilakukan pendekatan dari hukum positif semata, tetapi harus ada juga pendekatan secara budaya atau adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Karena korupsi itu, sesungguhnya bukan hanya urusan pengadilan, tetapi masalah bagi semua manusia yang hidup dalam satu komunitas

Pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan sektor publik menjadi salah satu langkah dalam mencegah dan mengurangi praktek korupsi yang marak di terjadi sektor publik khususnya di indonesia dengan reformasi sektor publik sebagai dampak dalam penerapan New Publik Management sedikit memberikan terobosan dalam rangka lebih meningkatkan akuntabilitas dan transparansi melalui penekanan pada pengukuran output dari setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat publik.