New Publik Management, Reformasi Akuntansi Sektor Publik Dan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Standard

Latar Belakang

Organisasi sektor publik sering digambarkan tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, miskin inovasi dan kreativitas, serta berbagai kritikan lainnya. Munculnya kritik keras yang ditujukan kepada organisasi-organisasi sektor publik tersebut kemudian menimbulkan gerakan untuk melakukan reformasi manajemen sektor publik. Salah satu gerakan reformasi sektor publik adalah dengan munculnya konsep New Public Management (NPM).

Konsep new public management pada awalnya dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Apabila dilihat dari perspektif historis, pendekatan manajemen modern di sektor publik pada awalnya mucul di Eropa tahun 1980-an dan 1990-an sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. Penekanan NPM pada waktu itu adalah pelaksanaan desentralisasi, devolusi, dan modernisasi pemberian pelayanan publik .New Public Management telah mempengaruhi proses perubahan organisasi sektor publik secara komprehensif di hampir seluruh dunia.

 Orientasi New Public Management

Secara khusus, NPM hendak mengukur apa yang sudah dilakukan oleh sektor publik pemerintah. Pengukuran salah satunya dilakukan atas kepuasan warga negara atas layanan yang diberikan pemerintah. Juga pelayanan yang melibatkan partisipasi publik meski dalam skala pasif saja.

Di dalam sistem pemerintahan dikenal istilah New Public Management yang merupakan paradigma baru pada tahun 1990-an yang kosepnya terkait dengan manajemen kinerja sektor publik. NPM pada awalnya lahir di negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Namun, negara-negara berkembang juga mulai menggunakan konsep ini

Negara merupakan alat masyarakat dalam rangka mempertahankan eksistensinya baik secara intern msupun ekstern. Sedangkan pemerintah merupakan alat negara yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu pemerintah merupakan alat masyarakat yang berfungsi memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

New Publik Management (NPM) adalah paradigma baru dalam manajemen sektor publik. NPM biasanya dikawankan dengan Old Publik Management (OPM). Konsep NPM muncul pada tahun 1980-an dan digunakan untuk melukiskan sektor publik di Inggris dan Selandia Baru. NPM menekankan ada control atas output kebijakan pemerintah, desentrallisasi otoritas menajement, pengenalan pada dasar kuasi-mekanisme pasar, serta layanan yang berorientasi customer.

Tema pokok dalam New Public Management (NPM) ini antara lain bagaimana menggunakan mekanisme pasar dan terminologi di sektor publik. Bahwa dalam melakukan hubungan antara instansi-instansi pemerintahan dengan pelanggannya (customers) dipahami sama dengan proses hubungan transaksi yang dilakukan oleh mereka dunia pasar (market place). Dengan mentransformasikan kinerja pasar seperti ini maka dengan kata lain akan mengganti atau mereform kebiasaan kinerja sektor publik dari tradisi berlandaskan aturan (rule-based) dan proses yang menggantungkan pada otoritas pejabat (authority-driven processes) menjadi orientasi pasar (market-based), dan dipacu untuk berkompetisi sehat (competition-driven tactics).

Konsep New Public Management (NPM) ini dapat dipandang sebagai suatu konsep baru yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan oleh instansi dan pejabat-pejabat pemerintah. Dengan konsep seperti inilah maka Christopher Hood dari London School Of Economic (1995) mengatakan bahwa New Public Management (NPM) mengubah cara-cara dan model bisnis privat dan perkembangan pasar. Cara-cara legitimasi birokrasi public untuk menyelamatkan prosedur dari diskresi administrasi tidak lagi dipraktikan oleh New Public Management (NPM) dalam birokrasi pemerintahan.

Untuk lebih mewujudkan konsep New Public Management (NPM) dalam birokrasi publik, maka diupayakan agar para pemimpin birokrasi meningkatkan produktivitas dan menentukan alternatif cara-cara pelayan publik berdasarkan perspektif ekonomi. Mereka didorong untuk memperbaiki dan mewujudkan akuntabilitas publik kepada pelanggan, meningkatkan kinerja, restrukturisasi lembaga birokrasi publik, merumuskan kembali misi organisasi, melakukan streamlining proses dan prosedur birokrasi, dan melakukan desentralisasi proses pengambilan kebijakan.

Vigoda dan Keban (Pasolong, 2007:34), mengungkapkan bahwa ada 7 (tujuh) prinsip-prinsip NPM, yaitu:

  1. Pemanfaatan manajemen professional dalam sektor publik
  2. Penggunaan indikator kinerja
  3. Penekanan yang lebih besar pada kontrol output
  4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil
  5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi
  6. Penekanan gaya sektor swasta pada penerapan manajemen
  7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber daya

Pentingnya New Public Management

Tema sentral dalam manajemen public adalah upaya mereformasi sector public agar tujuan yang dicapai lebih efektif,efesien dan ekonomis,semata-mata hanya menunjukan kepada kita tentang hubungan antara Negara (the state) dan pasar (the market) dan tekanan lebih eksplisit ditujukan pada adanya dominasi preferensi individu terhadap penyediaan barang dan jasa atas preferensi kolektif. Kita perlu menyadari bahwa pemerintahan yang modern itu bukan hanya sekedar mencapai tujuan efisiensi tetapi tentang hubungan akuntabilitas terhadap Negara dengan warga Negaranya yaitu warga meminta agar tidak diperlakukan hanya sebagai konsumen dan pelanggan tetapi mereka juga memiliki hak untuk menuntut pemerintahannya bertanggung jawab atas tindakan yang diambil atau kegagalan dalam bertindak /melakukan sesuatu.

Warga Negara menghendaki pemberian pelayanan yang efisien ,pengenaan pajak yang rendah dsb,tetapi mereka juga menginginkan agar hak-haknya dilindungi,suaranya didengar,nilai-nilai dan preferensinya dihargai sanksi mutlak yang ada ditangan warga Negara atas rendahnya mutu pelayanan yang diperoleh adalah dengan menolak dan menuntut mundur kepada mereka yang secara politis bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan yang bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan warga Negara. Penyediaan anggaran yang cukup,persaingan, penetapan standar mutu kerja dan sebagainya. Mungkin dibutuhkan untuk mewujudkan manajemen yang baik dan pemanfaatan sumber-sumber yang efisien, tetapi bila upaya perbaikan ini menghasilkan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan warga, maka warga sebagai pemilih dalam pemilu akan berontak dan tidak memilih nya lagi.

Model Pemerintahan di Era New Public Management

Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan konsep “reinventing government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:

  1. Pemerintahan katalis : fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Produksi pelayanan publik oleh pemerintah harus dijadikan sebagai pengecualian, dan bukan keharusan, pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah.
  2. Pemerintah milik masyarakat : memberdayakan masyarakat daripada melayani. Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community).
  3. Pemerintah yang kompetitif : menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
  4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi : mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
  5. Pemerintah yang berorientasi hasil : membiayai hasil bukan masukan. Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan.
  6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan : memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi.
  7. Pemerintahan wirausaha : mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan.
  8. Pemerintah antisipatif : berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah tradisonal yang birokratis memusatkan diri pada produksi pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik.
  9. Pemerintah desentralisasi : dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja.
  1. Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar : mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumberdaya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam mengalokasi sumberdaya. Pemerintah tradisional menggunakan mekanisme administratif yaitu menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut). Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar yaitu tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat

Kelemahan Penerapan New Public Management (NPM)

Setiap paradigma akan selalu punya kelebihan dan kekurangannya dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ada dalam birokrasi. Latar belakang lahirnya paradigma serta kondisi dan konteks dimana paradigma tersebut sukses dilaksanakan sering jauh berbeda dengan kondisi dimana paradigma diterapkan dan akan diterapkan. Karena itu sering terjadi bahwa paradigma yang telah berhasil di tanah kelahirannya atau di daerah-daerah tertentu kadang tidak mampu diterapkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan birokrasi di daerah-daerah lainnya. Karena yang sering terjadi adalah paradigma tersebut justru tidak membawa perubahan tetapi sebaliknya justru semakin menambah kompleksitas permasalahan yang ada dalam birokrasi atau pemerintahan.

Demikian juga dengan paradigma new public management yang diusung oleh Osborne dan Gaebler dalam mereformasi kinerja birokrasi. Walaupun telah berhasil diterapkan di beberapa negara termasuk di tanah kelahirannya, paradigma ini tetap memiliki beberapa kekurangan serta kelemahan yang menjadikannya sulit untuk diterapkan dalam konteks birokrasi Indonesia dan di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang belum mapan secara merata. Beberapa kelemahan dan kekurangan yang termuat dalam paradigma ini terlihat dalam konsep mewirausahakan birokrasi. Konsep mewirausahakan birokrasi yang diusung oleh new public management masih terkesan buat dirinya sendiri. Karena logika yang dibangun oleh new public management  adalah sebuah logika yang berorientasi pada pasar yang mengutamakan keuntungan bagi dirinya dan bukan pada pelayanan publik.

Selain itu, berangkat dari logika yang ada dan berbagai tawaran struktural yang ditawarkan oleh new public management jelas terungkap adanya sebuah upaya untuk “memasarkan” birokrasi dengan menerapkan logika pasar. Dalam hal ini, masyarakat sebagai obyek pelayanan akan sering dijadikan sebagai konsumen dan birokrasi sebagai pemberi pelayanan menjadi produsen. Pola kerja birokrasi diubah dalam sebuah etika mekanisme pasar dengan menjunjung tinggi keefektifan dan efesiensi. Pelayanan diibaratkan sebagai hasil produksi yang harus dibeli oleh masyarakat dimana sebuah transaksi ekonomi  tercipta yang mana rakyat dilihat sebagai pembeli dan birokrasi sebagai produsen yang memberikan pelayanan. Sehingga ,berangkat dari berbagai pola ini menjadi jelas bahwa masyarakat yang kemudian tidak berdaya secara ekonomi, tidak akan mampu dan tidak akan mempunyai kekuatan untuk mengakses berbagai pelayanan publik yang ada.

Oleh karena itu berangkat dari cita-cita mekanisme pasar yang diusung oleh paradigma new public management diperlukan sebuah proses filterisasi terlebih dahulu bagi paradigma ini sebelum diterapkan dalam konteks Indonesia. Karena berbagai mimpi tentang mekanisme pasar yang coba diusung oleh new public management atau birokrasi pasar hanya akan bisa dan mungkin berlaku dalam kondisi masyarakat yang telah mapan baik secara ekonomi maupun secara politik. Jika mimpi new public management ini diterapkan dalam konteks Indonesia maka kondisi yang tercipta adalah sebuah konteks pelayanan dimana uang sebagai parameter utama pelayanan. Kemudian dalam posisi ini hanya mereka yang mempunyai kekuatan ekonomilah yang akan mampu dan dengan mudah mengakses dan menerima berbagai pelayanan publik. Sedangkan di pihak lain yakni pihak-pihak yang tidak mempunyai kekuatan modal akan kesulitan mendapatkan pelayanan dan dinomorduakan dalam proses pemberian pelayanan.

Hal ini tentunya berlawanan dengan peran birokrasi sebagai salah satu alat negara yang bertugas untuk melayani masyarakat. Karena yang terjadi  adalah negara hanya memperhatikan mereka yang memiliki kapasitas ekonomi yang secara logis sudah hidup diatas kemapanan dan yang miskin akan semakin terpinggirkan. Sehingga dengan demikian menjadi jelas bagaimana sulitnya paradigma ini jika diterapkan dalam konteks Indonesia. Yang mana jika tetap berani diterapkan akan bisa dipikirkan seberapa kompleks persoalan permasalah yang akan muncul dalam dikemudian hari.

Berbagai pelaksanaan di berbagai negara berkembang termasuk di Indonesia, new public management justru menghadapi berbagai permasalahan serupa seperti yang terlampir di atas. Bahkan lebih jauh melihat berbagai fenomena yang terjadi dalam sistem birokrasi Indonesia berkaitan dengan penerapan paradigma new public management. adanya muatan neo-lib dalam berbagai penyelenggaran kebijakan publik yang ditawarkan oleh paradigma new public management. Di mana semangat kapitalis mulai merasuki berbagai kebijakan-kebijakan yang diambil dengan cara menjual belikan aset-aset negara, yang secara mendasar memiliki peran paling penting dalam proses pelayanan terhadap masyarakat. Kemudian yang terjadi adalah pasar mendominasi seluruh berbagai kebijakan yang ada dan mekanisme pasar menjadi sebuah tuntutan paling utama dalam proses pelayanan. Karena itu dari berbagai hal ini dapat di katakan bahwa sebaik apapun berbagai kebijakan yang ditawarkan oleh new public management, paradigma ini tetap tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam konteks dan kondisi Indonesia saat ini.

 

Reformasi Akuntansi Sektor Publik

Reformasi akuntansi sektor publik, yang dalam hal ini dimaksudkan adalah reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia disebabkan oleh pengaruh eksternal dan internal. Faktor eksternal diakibatkan oleh pengaruh globalisasi yang demikian kuat Termasuk new publik management. Reformasi akuntansi sektor publik dalam dunia internasional terjadi di banyak negara. Buruknya kinerja pemerintahan di banyak negara pada masa lalu seperti semakin meningkatnya hutang negara, pemborosan, ketidakefisienan, buruknya pelayanan publik mendorong reformasi sektor publik, berbagai istilah pada tahun 1990-an mencerminkan adanya perubahan di sektor publik seperti reenventing government, value for money, good governance dan new publik management.

Pada umumnya reformasi akuntansi sektor publik di negara-negara dunia, bermula dari fase akuntansi tradisional menuju akuntansi modern. Pada awalnya pembukuan akuntansi pemerintahan secara tradisional menganut basis akuntansi kas dengan pencatatan single entry. Reformasi menuju akuntansi modern merubah cash basis menjadi accrual basis.

Sebuah simposium internasional di Beijing tahun 2001 diadakan untuk mempelajari berbagai upaya reformasi anggaran dan akuntansi sektor publik di banyak negara. Pada simposim tersebut  (Chan, 2001) menyatakan bahwa pada dasarnya reformasi akuntansi sektor publik dapat dikelompokkan dalam dua model. Model Anglo-American dan Model Continental European, Model Continental percaya bahwa akuntabilitas eksekutif terhadap parlemen adalah cukup, sedangkan model Anglo-American menekankan akuntabilitas dilakukan baik eksekutif maupun parlemen kepada publik

 

Perubahan Basis Akuntansi Sektor Publik

Tweedie mengungkapkan bahwa standar akuntansi dihasilkan dari lima interaksi, yaitu: peristiwa ekonomi, kepentingan pribadi, penyebaran ide-ide, perjalanan sejarah dan pengaruh internasional. Sementara itu Nobes dan Parker mengatakan faktor budaya, sosial dan politik merupakan faktor dominan yang mempengaruhi regulasi akuntansi di berbagai negara.

Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi sektor publik di Indonesia adalah perubahan single entry menjadi double entry bookkeeping dan perubahan basis akuntansi yakni akuntansi berbasis kas menjadi berbasis accrual.

Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang auditable. Cash basis mempunyai kelebihan antara lain mencerminkan informasi yang riil dan obyektif. Sedangkan kelemahannya antara lain kurang mencerminkan kinerja yang sesungguhnya.

Akuntansi berbasis accrual dinilai dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih komprehensif dan relevan untuk pengambilan keputusan. Pengaplikasian accrual basis lebih ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik, sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal dan sustainable.

Pengaplikasian accrual basis memberikan gambaran kondisi keuangan secara menyeluruh (full picture), yang meliputi manajemen sumber daya (resource management) dan manajemen utang (liability management), dan menyediakan indikasi kekuatan fiskal jangka panjang dalam reformasi manajemen keuangan dan reformasi manajemen lainnya (Mellor, 1996).

Penekanan penggunaan accrual basis juga disyaratkan dalam GASB dan diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya seperti going concern, consistency of presentation, materiality and aggregation untuk mewujudkan comparative information (IFAC- IFRS). Namun demikian, accrual accounting mempunyai beberapa kelemahan antara lain penilaian dan revaluasi aset yang didasarkan atas taksiran dan penggunaan estimasi dalam penghitungan depresiasi (Conn, 1996). Beberapa negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan dari cash basis menjadi accrual basis.

Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu dilakukan analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah faktor sosiologi masyarakat (Yamamoto, 1997).

Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2008. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa laporan keuangan untuk tujuan umum disusun dan disajikan dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana dan yang terakhir dengan PP No. 71 Tahun 2010 tentan Standar Akuntansi Pemerintahan dan Pemerdagri No 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual Pada Pemerintah Daerah

Tabel Perkembangan Hukum di Bidang Keuangan Negara/Daerah di Indonesia

Pra – otonomi daerah & desentralisasi fiscal 1999 Transisi Otonomi (Reformasi Tahap I) Pascatransisi Otonomi (Reformasi Tahap II)
 

  • UU No. 5 Tahun 1974
  • PP No 5&6 Tahun 1975
  • Manual Administrasi Keuangan Daerah

 

 

  • UU No 22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999
  • PP No.105 Tahun 2000 dan PP No.108 Tahun 2000
  • Kepmendagri 29 tahun 2002
  • Peraturan Daerah
  • Keputusan KDH

 

 

  • UU No 17 Tahun 2003
  • UU No.1 Tahun 2004
  • UU No.15 Tahun 2004
  • UU No. 32 Tahun 2004
  • UU No.33 Tahun 2004
  • PP No.24 Tahun 2005
  • PP No. 71 Tahun 2010
  • Revisi PP No.105 Tahun 2004
  • Revisi PP 108 Tahun 2000
  • Revisi Kepmendagri No.29 Tahun 2002

 

 

 

 

Tindak Pidana Korupsi

Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus  maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• Perbuatan melawan hukum:
• Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
• Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• Penggelapan dalam jabatan;
• Pemerasan dalam jabatan;
• Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Di Indonesia korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Berdasakan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya. Sedangkan Pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia

Menurut Bank Dunia bahwa korupsi di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan seperti Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi

Pada tahun 2012, dilaporkan oleh Transparansi Indternasional bahwa Indeks tingkat korupsi di Indonesia naik dari peringkat 100 menjadi 118. Survei tersebut dilakukan terhadap 176 negara di seluruh dunia. Peringkat baru tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia

Pada masa sesudah reformasi keinginan masyarakat untuk menegakkan hukum dan menghukum para pelanggar hukum atau orang-orang yang diduga melakukan kejahatan sungguh luar biasa besarnya. Keinginan ini ternyata bukan hanya keianginan masyarakat saja, tetapi juga menjadi program dari pemerintah. Hal ini dapat kita ikuti mulai dari kampanye pemilihan anggota legislatif sampai pada kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditahun 2004 dan 2009 dan yang baru saja di lalui yakni pemilihan anggota legislatif tahun 2014. Bahkan setiap penggantian pemerintah pemberantasan korupsi selalu menjadi program utama dari pemerintah

Lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini oleh banyak pihak tidak jarang dinyatakan sebagai superbody, karena wewenangnya yang luar biasa besar, KPK diberi tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi. Wewenang yang luas itu termasuk, memonitor penyelenggaraan pemerintah serta melakukan tindakan pro justitia dan upaya paksa tertentu. Dalam waktu relative singkat sudah ribuan laporan masyarakat yang disampaikan kepada KPK. Menyikapi laporan masyarakat ini kita saksikan KPK bertindak maksimal, mulai dari kasus pembelian helikopter Suap Anggota KPU dan lain-lain

Tidak mau kalah dengan para pendahulunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), berdasarkan Keputusan Presiden No.11 Tahun 2005. Tim ini dibawah kendali Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji. Tugas pokok dari Tim ini adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara korupsi; selain itu Tim ini juga bertugas untuk mencari dan menangkap pelaku tindak pidana korupsi serta menelusuri asset dalam rangka pengambalian keuangan Negara secara optimal. Timtas Tipikor ini secara langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Namun ternyata Timtas Tipikor ini tidak berumur lama, karena tidak menghasilkan kebaikan malah justru menimbulkan korupsi baru Kinerja Timtas Tipikor dianggap tidak berhasil. Tim ini dibubarkan pada tahun 2007

 

Korupsi dan Budaya (Dilema Etika)

Sulit untuk menyangkal bahwa peran adat istiadat dan tradisi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penegakan hukum dan pembangunan demokrasi dan politik sangat besar. Salah satu contoh adalah budaya memberi hadiah atau tidak jarang kita sebut budaya memberi oleh-oleh dalam kehidupan sehari-hari. Sementara pada sisi yang lain, secara hukum, memberi hadiah itu dapat digolongkan sebagai gratifikasi.

Bahkan ketentuan UU Tipikor, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dengan demikian, maka untuk memahami konsep pemberian hadiah dan korupsi ini tidak bisa hanya dilakukan pendekatan dari hukum positif semata, tetapi harus ada juga pendekatan secara budaya atau adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Karena korupsi itu, sesungguhnya bukan hanya urusan pengadilan, tetapi masalah bagi semua manusia yang hidup dalam satu komunitas. Dari beberapa penelitian, pada masyarakat tertentu pemberian itu bukanlah termasuk pada kategori suap, bahkan pemberian itu dianggap hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa negara yang pendudukanya cukup banyak sebagai penganut konfusius masyarakat cina misalnya, sebagai contoh dalam mengatur bisnis, karena adanya hubungan pribadi yang didasarkan kepada kehormatan pribadi, persahabatan atau kewajiban bersama dalam jangka panjang. Bisnis cukup banyak berhubungan dengan keluarga, sementara pada konsep Barat bisnis disandarkan kepada perjanjian secara tertulis dan ditegakkan dengan hukum yang ketat dan keras. Inilah salah satu perbedaan pokok dalam prilaku berbisnis, antara Barat dan Timur. Perbedaan sistem berbasis aturan dan berbasis hubungan hanya salah satu dari banyak perbedaan budaya, dan kedua model ini tentu melahirkan norma-norma etika yang berbeda, terutama dalam hubungan bisnis

Pada negara tertentu hubungan bisnis yang dibangun berdasarkan perkoncoan disebut sebagai nepotisme dan diangap sebagai kejahatan. Sedangkan pada bagian dunia yang lain, hal ini diangap biasa dan lumrah. Akibat dari sistuasi ini, apa yang dianggap sebagai korup di Barat, tidak korup di sebagian negara timur.  Perbedaan penilaian terhadap sesuatu, sebagai korupsi dalam keseharian kita tentu saja masih terjadi. Terutama berhubungan dengan praktik, yang kita sebut sebagai tanda terimakasih. Meskipun faktanya tanda terimakasih itu selalu berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan yang telah dilakukan. Sehingga acapkali kita menyaksikan dalam keseharian kita pejabat publik menerima tanda terimakasih

 

Strategi Pemberantasan Korupsi

Klitgaard (2001)  membuat persamaan sederhana untuk menjelaskan pengertian korupsi sebagai berikut:

C = M + D – A

C = Corruption / Korupsi

M = Monopoly / Monopoli

D = Discretion / Diskresi / keleluasaan

A = Accountability / Akuntabilitas

Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas).

Berdasarkan persamaan yang dikemukan oleh klitgaard tersebut maka untuk dapat salah satu langkah yang dapat mencegah ataupun mengurangi korupsi ialah dengan menggunakan logika persamaan terbalik yang dapat digambarkan di bawah ini :

  1. Membatasi Monopoli Seseorang

Seseorang yang memiliki monopoli terhadap urusan tertentu sangat berpotensi untuk melakukan korupsi hal ini didukung karena posisi yang mendominasi, sehinnga demikian monopoli seseorang harus dibatasi baik dari sisi urusan tertentu maupu pada kebijakan yang dikeluarkan oleh yang bersangkutan

  1. Mengurasi Diskresi

Diskresi merupakan keleuasaan sesorang yang biasanya diikuti dengan kekuasaan atau melekat pada kekuasaan sehingga keleluasaan yang berlebihan dalam kekuasaan sangat rentan dengan penyalahgunaan yang berakibat pada tindakan-tindakan melawan hukum seperti perbuatan korupsi dan lain sebagainya,untuk ini mengurangi atau membatasi diskresi menjadi sangat penting sebagai upaya preventif terhadapa dampak yang di akibatkan oleh korupsi.

  1. Meningkatkan Akuntabilitas

Akuntabilitas yang lemah hanya akan membuat seseorang atau lembaga tertentu yang diberikan tanggungjawab untuk mengurusi kepentingan masyarakat umum akan cenderung melakukan perbuatan yang hanya akan mememntingkan kepentingan pribadi maupun kelompok, hal ini disebabkan akuntabilitas yang seharusnya disampaikan kepada publik menjadi chek and balance,  seseorang atau lembaga akan merasa dikontrol oleh masyarakat yang memberikan amanah kepadanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum, dengan demikian akuntabilitas menjadi syarat mutlak yang harus senantiasa didorong dan ditingkatkan guna menghindari perbuatan maupun kebijakan yang diambil mengarah pada perbuatan korupsi.

 

Kesimpulan

New Public Management dapat diartikan sebagai bagian yang sangat penting dalam mereformasi sektor publik sebagai lembaga atau instutusi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. New Public Management sebagai pola pengelolaan baru yang diterapkan pada sektor publik tidak hanya pada pelaksanaan manajemen pemerintahan saja tetapi juga mencakup aspek politik, sosial, kultural, dan hukum yang berpengaruh pada lembaga-lembaga publik  yang dimana berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit sector).

Berangkat dari cita-cita mekanisme pasar yang diusung oleh paradigma new public management diperlukan sebuah proses filterisasi terlebih dahulu bagi paradigma ini sebelum diterapkan dalam konteks Indonesia. Karena berbagai mimpi tentang mekanisme pasar yang coba diusung oleh new public management atau birokrasi pasar hanya akan bisa dan mungkin berlaku dalam kondisi masyarakat yang telah mapan baik secara ekonomi maupun secara politik

Reformasi akuntansi sektor publik, yang dalam hal ini dimaksudkan adalah reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia disebabkan oleh pengaruh eksternal dan internal. Faktor eksternal diakibatkan oleh pengaruh globalisasi yang demikian kuat Termasuk new publik management. Reformasi akuntansi sektor publik dalam dunia internasional terjadi di banyak negara. Buruknya kinerja pemerintahan di banyak negara pada masa lalu seperti semakin meningkatnya hutang negara, pemborosan, ketidakefisienan, buruknya pelayanan publik bahkan tak jarang kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam penegelolaan mendorong reformasi sektor publik.

Memberantas korupsi itu bukan sesuatu yang mudah. Proses pembuktian dalam perkara korupsi juga tidak mudah. Prosesnya juga adalah peoses yang panjang. Meksipun korupsi itu harus dilawan, yang tidak kalah penting dalam memberantas korupsi itu, prosesnya harus dilakukan secara adil dan beradab. Di samping itu untuk memahami konsep pemberian hadiah dan korupsi ini tidak bisa hanya dilakukan pendekatan dari hukum positif semata, tetapi harus ada juga pendekatan secara budaya atau adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Karena korupsi itu, sesungguhnya bukan hanya urusan pengadilan, tetapi masalah bagi semua manusia yang hidup dalam satu komunitas

Pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan sektor publik menjadi salah satu langkah dalam mencegah dan mengurangi praktek korupsi yang marak di terjadi sektor publik khususnya di indonesia dengan reformasi sektor publik sebagai dampak dalam penerapan New Publik Management sedikit memberikan terobosan dalam rangka lebih meningkatkan akuntabilitas dan transparansi melalui penekanan pada pengukuran output dari setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat publik.

MOTIVASI DAN STRATEGI EARNING MANAGEMENT PADA ENTITAS BISNIS

Standard

BAB I

 PENDAHULUAN

1.1 Latar  Belakang

         Manajer mempunyai kepentingan kuat dalam pemilihan kebijakan akuntansi. Berdasarkan hal itu, manajer dapat memilih kebijakan akuntansi dari sekumpulan kebijakan (contohnya GAAP), maka alamiah jika kita menduga kalau mereka akan memilih kebijakan yang dapat memaksimalkan utilitas mereka dan atau nilai pasar dari perusahaan. Hal ini disebut sebagai manajemen laba. Pemahahaman terhadap manajemen laba penting bagi akuntan, karena hal ini memudahkan perbaikan pemahaman terhadap kegunaan income bersih, baik untuk pelaporan kepada investor maupun untuk pengadaan kontrak.

Maka harus disebutkan bahwa pilihan kebijakan akuntansi diinterpretasikan cukup luas. Meskipun pembagian jalur ini masih belum tepat, tapi hal ini memudahkan pembagian pilihan kebijakan akuntansi kedalam dua kategori. Pertama adalah pilihan kebijakan akuntansi itu sendiri, seperti amortisasi garis lurus versus amortisasi saldo menurun, atau kebijakan untuk pengakuan pendapatan (revenue). Kategori lainnya adalah akrual diskresioner, seperti cadangan untuk kerugian kredit, jaminan, nilai persediaan dan timing serta jumlah item-item luar biasa seperti penangguhan dan cadangan untuk reorganisasi.Ada dua cara berpikir pelengkap tentang manajemen laba. Pertama, kita dapat memikirkannya sebagai perilaku oportunistik oleh manajer untuk memaksimalkan utilitas mereka dalam menghadapi kompensasi dan kontrak hutang serta biaya politik.

Bagaimanapun juga, kita juga dapat berpikir tentang manajemen laba dari perspektif pengadaan kontrak yang efisien. Ketika menetapkan kontrak kompensasi, perusahaan akan mengantisipasi insentif manajer untuk mengelola earning dan memperbolehkan hal ini ada dalam jumlah yang akan mereka tawarkan. Pemberi pinjaman akan melakukan hal yang sama dalam memutuskan tingkat bunga yang mereka minta. Manajemen laba juga memberikan pada manajer sejumlah fleksibilitas untuk melindungi diri mereka sendiri dan perusahaan dalam menghadapi realisasi keadaan yang tidak dapat diantisipasi, untuk menguntungkan semua pihak yang mengadakan kontrak.

            Lebih lanjut, manajer juga mampu mempengaruhi nilai pasar dari saham perusahaan mereka dengan manajemen laba. Contoh, mereka ingin menciptakan kesan earning yang mulus dan berkembang sepanjang waktu. Berdasarkan efisiensi pasar sekuritas, hal ini mengharuskan mereka menggunakan informasi dari dalam. Jadi manajemen laba dapat menjadi sarana untuk mengkomunikasikan informasi dalam dari manajemen ke investor. Pertimbangan ini mengarah pada kesimpulan yang menarik dan mungkin mengejutkan bahwa hanya sedikit dari manajemen laba yang merupakan hal yang bagus.

   Tentu saja, aspek efisiensi dari manajemen laba terlalu dikedepankan, karena manajemen laba itu mengurangi reliabilitas. Oleh karena itu, ada “hukum besi” disekitar manajemen laba, yang telah dikenal lama sejak pengenalan akuntansi. Hal ini adalah kebalikan akrual. Jadi, manajer yang pergi terlalu jauh mengelola earning saat ini agar meningkat akan menemukan bahwa kebalikan dari akrual ini akan mendorong earning di masa depan menurun ketika earning saat ini ditingkatkan. Selanjutnya, bahkan lebih banyak manajemen earning yang diperlukan jika pelaporan kerugian ditangguhkan di masa depan. Sebagai akibatnya, jika perusahaan mempunyai kinerja yang buruk, maka manajemen laba tidak dapat menunda dalam jangka waktu yang tidak terbatas saat penghitungannya. Jadi kemungkinan bahwa ada sebagian kecil manajemen laba yang bagus tidak dapat digunakan untuk merasionalisasi pelaporan keuangan yang menyesatkan atau yang mengandung perbuatan curang. Dalam hal ini ada jalur halus antara manajemen laba dengan kesalahan manajemen dalam pengelolaan laba. Pada akhirnya, lokasi jalur/garis ini harus ditentukan oleh badan pembentuk standar (standar setting), komisi sekuritas dan pengadilan.

Manajemen laba dapat terjadi karena penyusunan statemen keuangan menggunakan dasar akrual. Dengan menggunakan dasar akrual, transaksi atau peristiwa lain diakui pada saat transaksi atau peristiwa lain tersebut terjadi bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dikeluarkan. Sebagai konsekuensi penggunaan dasar akrual ini, dalam statemen keuangan, laba dalam suatu perioda dapat mengandung unsur kas dan akrual (non kas).

Unsur akrual dapat terjadi berdasarkan kebijakan manajemen (discretionary accruals) atau non-kebijakan manajemen (nondiscretionary accruals). Peningkatan penjualan secara kredit seiring dengan pertumbuhan perusahaan (tanpa perubahan kebijakan) dapat merupakan contoh nondiscretionary accruals, sedangkan perubahan biaya kerugian piutang yang disebabkan oleh perubahan kebijakan akuntansi yang dilakukan oleh manajemen dalam penentuan biaya kerugian piutang dapat dijadikan contoh discretionary accruals. Dasar akrual ini mempunyai implikasi bahwa laba akuntansi antara lain ditentukanoleh besaran akrual baik yang discretionary maupun nondiscretionary.

Manajemen laba dilakukan dengan tujuan tertentu. Misalnya, manajemen laba yang dilakukan dengan menggunakan akrual yang menaikan laba untuk tujuan mendapatkan harga saham yang relatif tinggi pada waktu penerbitan saham. Hasil penelitian bahwa terdapat manajemen laba dalam statemen keuangan perusahaan sebagai go public dengan menggunakan akrual yang menaikan laba.

Manajemen laba dapat juga dilakukan dengan tujuan mendapatkan keuntungan terkait dengan kepemilikan saham manajemen. Hal ini dapat dilakukan, misalnya, dalam rangka program opsi saham karyawan. Dalam program ini, harga pengambilan opsi biasanya ditentukan pada saat penawaran program. Hal ini mendorong menajemen untuk melakukan manajemen laba sebelum tanggal hibah opsi yaitu penurunkan laba agar supaya mempengaruhi harga saham dan dengan demikian manajemen dapat menerima opsi pada waktu harga saham relatif

1.2. Rumusan Masalah

            Berdasarkan uraian pada  latar belakang diatas maka dapat di rumuskan permsalahan yang terkait dengan  Earning Managemen (Manajemen Laba) yakni :

1.      Apakah motivasi adanya Earning Management pada Entitas Bisnis

2.      Bagaimanakah Strategi Earning Management yang sering di lakukan pada Entitas Bisnis

1.3  Tujuan

           Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu :

1.    Untuk mengetahui faktor yang memotivasi adanya Earning Managemen pada Entistas Bisnis

2.   Untuk mengetahui bagaimanakah strategi Earning Managemen pada Entitas Bisnis di lakukan

 


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Earning Management 

Scott (2006: 344) membagi cara pemahaman atas manajemen laba atau earning manajemen  menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunis manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (oportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu. 

Definisi manajemen laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schipper (1989) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut).

Aktivitas laba dapat terjadi karena tiga faktor yaitu dengan cara: pemanfaatan transaksi akrual, perubahan metoda akuntansi, dan penerapan suatu kebijakan. Earning management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.

Jika Sugiri (1998) memberikan definisi earning management secara teknis, maka Surifah (1999) memberikan pendapatnya mengenai dampak earning management terhadap kredibilitas laporan keuangan. Menurut Surifah (1999) earning management dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan apabila digunakan untuk pengambilan keputusan, karena earning management merupakan suatu bentuk manipulasi atas laporan keuangan yang menjadi sasaran komunikasi antara manajer dan pihak eksternal perusahaan Konsep earning management menurut Salno dan Baridwan (2000:19): menggunakan pendekatan teori keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa ”praktek earning management dipengaruhi oleh konflik antara kepentingan manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul karena setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertimbangkan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya”. Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas manajemen sehari-hari untuk memastikan bahwa manajemen bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham (pemilik).

Dalam hubungan keagenan, principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent. Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan agent memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agent. Salah satu bentuk tindakan agent tersebut adalah yang disebut sebagai earning management (Widyaningdyah, 2001).

Menurut Healy dan Wahlen yang dikutip oleh Riduwan (2001)menyatakan bahwa earning management terjadi ketika para manajer menggunakan keputusannya dalam pelaporan keuangan dan dalam melakukan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan baik untuk menimbulkan gambaran yang salah bagi stakeholder tentang kinerja ekonomis perusahaan, ataupun untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.

2.2 Akrual Pada Akuntansi

2.2.1 Non Discretionary Accruals

Manajemen yang mempunyai motivasi signaling mencatat discretionary accruals untuk mencerminkan secara lebih baik impak kejadian ekonomi pokok terhadap kinerja perusahaan. Manajemen mencatat discretionary accruals untuk menyampaikan informasi privat mengenai kemampu labaan perusahaan yang akan datang, atau agar laba menjadi ukuran yang lebih dapat dipercaya dan tepat waktu mengenai kinerja perusahaan kini daripada laba non discretionary accruals.

Non discretionary accruals disebut juga dengan normal accruals, yang berarti bahwa non discretionary accruals hanya mengakui transaksi untuk kondisi yang normal saja yaitu kondisi yang sudah ada di dalam kebijakan manajemen perusahaan. Oleh karena itu, laba berdasarkan non discretionary accruals tidak bisa mendeteksi transaksi diluar kondisi yang normal atau di luar kebijakan manajemen perusahaan. Oleh karena itu untuk mendeteksi earnings management berdasarkan non discretionary accruals jauh lebih mudah dibandingkan berdasarkan discretionary accruals karena semua transaksi sesuai dengan kebijakan manajemen perusahaan

2.2.2   Discretionary Accruals

Discretionary accruals disebut juga dengan abnormal accruals sering digunakan sebagai proksi manajemen laba opurtunistik dalam beberapa penelitian sebelumnya sesuai dengan konteksnya masing-masing, tetapi manajer mungkin mempunyai motivasi lain untuk mencatat discretionary accruals yaitu untuk memberikan sinyal mengenai kinerja perusahaan saat ini dan masa yang akan datang. Menurut chen and cheng (2002) manajer mempunyai dua motivasi untuk mencatat discretionary accruals yaitu: pertama, motivasi kinerja yaitu manajemen mencatat discretionary accruals untuk mencerminkan laba secara lebih baik dampak kejadian-kejadian ekonomi penting terhadap laba. Kedua, motivasi manajemen laba opurtunistik yaitu bahwa manajemen mencatat discretionary accruals untuk memaksimalkan manfaat yang mereka peroleh dengan tidak bermaksud untuk mengungkapkan informasi privat.

2.3 Motivasi Earning Management

Menurut Scott (2003:377) beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan earning management, antara lain sebagai berikut :

2.3.1  Motivasi Program Bonus

Healy (1985) menunjukkan secara empiris bahwa sebelum melakukan manajemen laba, manajer mempunyai informasi dari dalam perusahaan atas laba bersih perusahaan. Penelitian ini juga menunjukkan kecenderungan manajemen yang secara oportunistik mengelola laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi perusahaan. Healy (1985) berusaha untuk membuktikan dan memprediksi metoda akuntansi yang akan dipilih manajer. Penelitian ini merupakan perluasan dari bonus plan hypothesis. Jika pada suatu tahun tertentu laba bersih perusahaan rendah (di bawah bogey) maka tindakan manajer adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah (taking a bath) yang bermaksud untuk mencapai bonus pada tahun berikutnya. Sedangkan jika pada satu tahun tertentu laba bersih perusahaan tinggi (diatas cap) maka tindakan yang dilakukan manajer adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah. Tindakan ini dilakukan karena manajer tidak akan mendapatkan bonus yang lebih tinggi dari target yang telah ditentukan. Intinya manajer akan melakukan manajemen laba pada saat laba bersih berada diantara bogey dan cap. Penelitian yang telah dilakukan oleh Cheng dan Warfield (2005) menguji hubungan antara manajemen laba dengan insentif ekuitas. Hasilnya adalah insentif ekuitas berkorelasi positif dengan manajemen laba. Artinya, semakin tinggi insentif ekuitas yang diberikan kepada manajer, semakin tinggi kejadian manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Ini terkait hubungan antara kompensasi yang berdasarkan saham dan elemen insentif ekuitas lain dengan insentif manajer untuk meningkatkan harga saham jangka pendek. Hasil penelitian Beneish dan Vargus (2002) menunjukkan bahwa periode di mana akrual sangat tinggi berhubungan dengan penjualan saham oleh insiders. Di waktu yang sama laba dan return saham yang rendah mengikuti periode di mana terdapat akrual tinggi yang disertai penjualan oleh insiders. Bergstresser dan Philippon (2006) menguji hubungan antara manajemen laba dan CEO insentif dengan menggunakan pendekatan discretionary accruals model Jones. 

2.3.2  Motivasi Politik (Political Motivations)

Perusahaan besar yang aktivitasnya berhubungan dengan publik atau perusahaan yang bergerak dalam industri strategis seperti minyak dan gas akan sangat mudah untuk diawasi. Perusahaan seperti ini cenderung untuk mengelola labanya. Pada perioda kemakmuran perusahaan menggunakan prosedur dan praktik-praktik akuntansi yang meminimalkan laba bersih perusahaan. Sebaliknya, publik akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan peraturan untuk menurunkan profitabilitas mereka. Contoh hasil penelitian yang lain pada industri perbankan, yaitu tingkat manajemen laba dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah regulasi perbankan tentang tingkat kesehatan, regulasi perbankan tentang kehati-hatian serta adanya asimetri informasi yang merupakan peluang untuk dapat melakukannya (Rahmawati 2006). 

Selain itu banyak perusahaan yang cukup nampak secara politis. Hal ini juga berlaku untuk perusahaan besar karena aktivitas mereka menyentuh sebagian besar orang. Perusahaan dalam industri strategis seperti minyak dan gas, seperti halnya perusahaan monopolistik atau perusahaan yang mendekati monopolistik seperti perusahaan penerbangan dan perusahaan pembangkit tenaga listrik. Perusahaan itu ingin mengelola earningnya untuk mengurangi jarak penglihatannya (visibility). Hal ini memerlukan contohnya praktek dan prosedur akuntansi yang dapat meminimalkan income bersih yang telah dilaporkan, khususnya selama periode kesejahteraan tinggi.s sebaliknya, tekanan publik dapat timbul bagi pemerintah yang ingin melakukan intervensi dengan meningkatkan regulasi atau dengan sarana lain guna mengurangi profitabilitas.

2.3.3  Motivasi Perpajakan (Taxation Motivations) 

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Namun demikian, kewenangan pajak cenderung untuk memaksakan aturan akuntansi pajak sendiri untuk menghitung pendapatan kena pajak. Seharusnya secara umum perpajakan tidak mempunyai peran besar dalam keputusan manajemen laba. Penelitian Maydew (1997) membuktikan bahwa penghematan pajak menjadi insentif bagi manajer (khususnya manajer yang mengalami net operating loss pada tahun 1986-1991) untuk mempercepat pengakuan biaya dan menunda pengakuan pendapatan. Di USA, perusahaan yang mengalami net operating loss diijinkan untuk mengkompensasi rugi operasi tersebut dengan laba tiga tahun sebelumnya (atau dengan laba 15 tahun yang akan datang). Dampak dari kompensasi rugi terhadap laba adalah restitusi pajak. Perubahan tingkat pajak pada tahun 1987 di Amerika akibat TRA (tax reform act) adalah akibat memaksimalkan restitusi pajak yang didapatkan dari perusahaan mengalami kerugian pada tahun 1986-1991, karena restitusi tersebut didasarkan atas tarif pajak yang berlaku pada tahun pajak ditarik. Guenther (1994) menginvestigasi pengaruh publikasi TRA terhadap perusahaan di Amerika. Berbeda dengan Maydew, Guenther memilih mengevaluasi perusahaan yang tidak mengalami net operating loss. Penelitian Guenther berhasil membuktikan bahwa tingkat akrual perusahaan besar relatif lebih rendah dibanding tingkat akrual perusahaan kecil. Aktivitas manajemen laba dengan motivasi pajak dapat terdeteksi dengan book-tax differences, yaitu dilakukan dengan cara menaikkan kewajiban pajak tangguhan bersih (yaitu kewajiban pajak tangguhan dikurangi aktiva pajak tangguhan bersih), dan mengakibatkan naiknya beban pajak tangguhan (deferred tax expense). Pendapat ini konsisten dengan Phillips et al. (2003) yang membuktikan bahwa beban pajak tangguhan, yang merupakan wakil empirik untuk book-tax differences, menghasilkan total akrual dan ukuran abnormal akrual dalam mendeteksi manajemen laba untuk menghindari laba menurun. Selanjutnya Phillips et al. (2004), Rahmawati dan Solikhah (2008), serta Subekti dkk. (2008) menggunakan komponen-komponen perubahan dalam aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan untuk mendeteksi manajemen laba untuk menghindari laba menurun.

2.3.4 Motivasi Perubahan Chief Executif Officer (Changes of CEO Mativations)

Manajemen laba juga terjadi disekitar waktu pergantian CEO. Hipotesis program bonus memprediksi bahwa ketika waktu mendekati pengunduran diri CEO maka tindakan yang dilakukan adalah memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonus mereka. Sedangkan CEO yang kinerjanya buruk akan melakukan manajemen laba untuk memaksimalkan laba mereka dengan tujuan mencegah atau menunda pemberhentian mereka. Motivasi melakukan manajemen laba juga dapat dilakukan oleh CEO baru, terutama jika cost dibebankan pada tahun transisi, melalui penghapusan operasi yang tidak diinginkan atau divisi yang tidak menguntungkan.

2.3.5 Initial Public Offering (IPO)

Berdasarkan definisinya, perusahaan yang melakukan IPO masih belum mempunyai harga pasar. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana menilai saham dari perusahaan ini. Oleh karena itu, informasi akuntansi keuangan yang dimasukkan kedalam prospektus menjadi sumber informasi yang berguna. Contoh, Hughes (1986) menunjukkan secara analitis bahwa informasi seperti income bersih dapat menjadi hal yang berguna untuk membantu memberikan tanda tentang nilai perusahaan pada investor, dan Clarkson, Dontoh, Richardson dan Sefcik (1992) menemukan temuan empirik bahwa pasar memberikan respon secara positif kepada peramalan earning sebagai sinyal nilai perusahaan. Hal ini menimbulkan kemungkinan bahwa manajer dari perusahaan yang go publik mengelola earning yang dilaporkan dalam prospektusnya dengan harapan untuk menerima harga yang lebih tinggi untuk saham mereka.

2.3.6 Motivasi Perjanjian Utang (Debt Covenants Motivations)

Manajemen laba dengan tujuan untuk memenuhi perjanjian utang timbul dari kontrak utang jangka panjang. Perjanjian utang bertujuan melindungi peminjam terhadap tindakan manajer. Pelanggaran terhadap covenant mengakibatkan cost yang tinggi terhadap perusahaan, oleh karena itu manajer berusaha untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap covenant

Manajemen laba untuk tujuan perjanjian diprediksi oleh hipotesis perjanjian hutang dari teori akuntansi positif. Berdasarkan hal itu maka pelanggaran perjanjian dapat menimbulkan  biaya yang sangat besar, sehingga manajer perusahaan akan akan berusaha menghindarinya. Bahkan mereka berusaha menghindari dekat dengan pelanggaran tersebut, karena hal itu akan membatasi kebebasan mereka untuk bertindak dalam menjalankan perusahaan. Jadi manajemen laba dapat timbul sebagai sarana untuk mengurangi probabilitas pelanggaran perjanjian dalam kontrak hutang.

Manajemen laba dalam konteks perjanjian hutang yang diselidiki oleh Sweeney (1994) untuk sampel perusahaan yang mengalami kegagalan dalam kontrak hutang, Sweeney menemukan penggunaan perubahan akuntansi yang dapat meningkatkan income yang secara signifikan lebih besar daripada sampel kontrol, dan juga menemukan bahwa perusahaan yang gagal memenuhi kontrak itu cenderung menjalankan adopsi standar akuntansi baru yang lebih awal ketika hal ini meningkatkan income bersih yang dilaporkan, dan begitu pula sebaliknya.

2.3.7Motivasi Memenuhi Ekspektasi Laba Investor dan Mempertahankan Reputasi

Pengharapan dari investor bisa dalam bentuk berbagai cara.   Sebagai contohnya, kemungkinan bisa didasarkan kepada laba dari periode yang sama pada tahun sebelumnya atau analisa terkini atau perkiraan yang dilakukan oleh perusahaan.

Perusahaan yang menawarkan laba lebih besar dari nilai yang diharapkan (keterkejutan penghasilan positif) secara tipikal akan menikmati peningkatan share price secara signifikan, sejalan dengan revisi investor kepada probabilitas mereka dari performa baik di masa mendatang.  Sebagai kebalikannya, maka perusahaan dengan kejutan laba negative akan mengalami penurunan share price secara signifikan.  Bartov, Givoly, dan Hayn (2002) dalam studi yang dilakukan selama tahun 1983 – 1997, mendokumentasikan mengenai return dari share abnormal yang secara signifikan untuk perusahaan – perusahaan yang melebihi perkiraan analisa laba terbaru dari mereka, yang relative terhadap perusahaan yang mengalami kegagalan dalam memenuhi perkiraan analisa laba. 

Skinner dan Sloan (2002) dalam studi yang dilakukan selama tahun 1984 – 1996, mendokumentasikan negative share returns untuk perusahaan – perusahaan yang mengalami kegagalan memenuhi perkiraan laba mereka.  Nilai ini secara signifikan adalah lebih besar jika dibandingkan dengan return positif dari perusahaan yang mampu melebihi perkiraan laba mereka.  Hal ini menunjukkan bahwa pasar akan memberikan penal kepada perusahaan yang mengalami kegagalan untuk memenuhi pengharapan dibandingkan dengan reward yang mereka terima ketika melebihi ekspektasi.

 

2.4 Kebaikan Earning Management

2.4.1 Mebuka Komunikasi Yang Diblok/Terhambat

Konsep komunikasi yang terhambat dari Demski dan Sappington (1987a) (DSa).  Secara frekuen, maka agen yang memperoleh informasi yang dispesialissikan sebagai bagian dari keahlian mereka, dan jenis informasi ini kemungkinan besar akan bernilai untuk berkomunikasi kepada principal, yakni membuka komunikasi yang di terhambat diantara perusahaan/manajer dengan pemilik perusahaan atau investor. DSa menunjukkan kehadiran dari komunikasi yang diblokir yang bisa menurunkan efisiensi dari kontrak agensi, karena agent kemungkinan akan kekurangan perolehan informasi dan berkompensasi dengan bertindak, Jika hal ini terjadi, maka principal akan menerima insentif untuk mencoba mengeliminasi atau menurunkan blockade informasi.

2.5  Kelemahan Earning Management

2.5.1Manajemen Laba Oportunistik

Disamping teori dan bukti yang bertanggung jawab untuk manajemen laba, maka terdapat juga bukti mengenai manajemen laba yang buruk.  Untuk perspektif yang berkontrasksi, maka hal ini bisa dihasilkan dari prilaku manajer yang oportunistik.  Tendensi dari manajer untuk menggunakan manajemen laba untuk memaksimalkan perolehan bonus dari mereka, seperti yang disokumentasikan oleh Healey yang bisa diitenpretasikan dalam cara ini sebagai contohnya.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, maka motivasi lain untuk manajemen laba yang buruk akan  muncul ketika manajer berkeinginan untuk meningkatkan capital share yang baru dan ingin memaksimalkan proses dari isu baru.  Sejumlah accrual rahasia bisa dipergunakan untuk  meningkatkan net income yang dilaporkan dalam jangka pendek, seperti mempercepat pengenalan dari keuntungan, memperpanjang kemanfaatan dari asset capital, menyusutkan cost restorasi dan lingkungan dan sebagainya. 

 2.6 Strategi Earning Management

Banyak cara atau strategi yang dapat dilakukan oleh manajer untuk mempengaruhi waktu, jumlah, atau makna transaksi dalam pelaporan keuangan dengan melakukan pemilihan metode akuntansi dan accounting judgment (Merchant dan Rockness, 1994), yang dikutip oleh Sari (2005). Menurut Scott (2003:383) berbagai pola atau startegi yang sering dilakukan manajer dalam earning management adalah:

2.6.1 Taking a bath

Terjadinya taking a bath pada periode stress atau reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru. Bila perusahaan harus melaporkan laba yang tinggi, manajer dipaksa untuk melaporkan laba yang tinggi, konsekuensinya manajer akan menghapus aktiva dengan harapan laba yang akan datang dapat meningkat. Bentuk ini mengakui adanya biaya pada periode yang akan datang sebagai kerugian pada periode berjalan, ketika kondisi buruk yang tidak menguntungkan tidak dapat dihindari pada periode tersebut. Untuk itu manajemen harus menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan biaya yang akan datang pada saat ini serta melakukan clear the desk, sehingga laba yang dilaporkan di periode yang akan datang meningkat.

2.6.2 Income Minimization

Bentuk ini mirip dengan ”taking a bath”, tetapi lebih sedikit ekstrim, yakni dilakukan sebagai alasan politis pada periode laba yang tinggi dengan mempercepat penghapusan aktiva tetap dan aktiva tak berwujud dan mengakui pengeluaran-pengeluaran sebagai biaya. Pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara politis, kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas barang modal dan aktiva tak berwujud, biaya iklan dan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, hasil akuntansi untuk biaya eksplorasi.

2.6.3 Income Maximization

Tindakan ini bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Perencanaan bonus yang didasarkan pada data akuntansi mendorong manajer untuk memanipulasi data akuntansi tersebut guna menaikkan laba untuk meningkatkan pembayaran bonus tahunan. Jadi tindakan ini dilakukan pada saat laba menurun. Perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang mungkin akan memaksimalkan pendapatan.

2.6.4 Income Smoothing

Bentuk ini mungkin yang paling menarik. Hal ini dilakukan dengan meratakan laba yang dilaporkan untuk tujuan pelaporan eksternal, terutama bagi investor karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

Teknik untuk merekayasa laba dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Setiawati dan Na’im, 2000). Pertama yaitu memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, antara lain: estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi. Kedua yaitu mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: mengubah metode depresiasi aktiva tetap yaitu dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. Ketiga yaitu menggeser periode

biaya atau pendapatan, misalnya: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai.

Pendekatan lain yang digunakan dalam mengendalikan net income (Lontoh dan Lindrawati, 2004): Pertama, dengan mengendalikan transaksi-transaksi akrual, dimana transaksi akrual memiliki pengaruh terhadap pendapatan dan biaya namun tidak tampil pada arus kas. Contoh: amortisasi dan depresiasi adalah sepenuhnya dikuasai oleh perusahaan dalam hal menentukan masa manfaatnya sehingga perusahaan dapat mengatur besarnya pembebanan pada biaya sesuai keinginan manajemen dalam rangka mencapai hasil akhir pada net income yang diinginkan. Terdapat dua konsep akrual yaitu: discretionary accrual dan non discretionary accrual. Discretionary accrual adalah pengakuan akrual laba atau beban yang bebas tidak diatur dan merupakan pilihan kebijakan manajemen, sedangkan non discretionary accrual adalah pengakuan akrual laba yang wajar, yang tunduk pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum. Kedua, dengan mengubah kebijakan akuntansi, manajemen juga dapat menentukan net income yang diinginkan, namun hasrat manajemen untuk melaksanakan hal ini tidak sekuat accrual items. Alasannya adalah manajemen harus menjelaskannya dalam disclosure pada laporan keuangan tahunan. Dan alasan ini adalah bahwa standar akuntansi tentang konsistensi mencegah terjadinya perubahan kebijakan akuntansi sesering mungkin. Contohnya adalah merubah metode pencatatan dari LIFO menjadi FIFO.

Earning management merupakan fenomena yang sukar dihindari karena fenomena ini hanya dampak dari penggunaan dasar akrual dalam penyusunan laporan keuangan. Dasar akrual disepakati sebagai dasar penyusunan laporan keuangan karena dasar akrual memang lebih rasional dan adil dibandingkan dasar kas. Sebagai contoh, dengan dasar kas, pembelian aktiva tetap secara tunai senilai seratus juta rupiah mesti dibebankan sebagai biaya pada periode saat pembelian aktiva tersebut, meskipun aktiva tersebut akan bermanfaat bagi perusahaan selama 10 tahun. Jika laporan rugi laba disusun dengan dasar kas, maka besar kemungkinan dalam periode tersebut perusahaan dinyatakan mengalami rugi. Jadi pada dasarnya, basis akrual dipilih dengan tujuan untuk menjadikan laporan keuangan lebih informatif yaitu laporan keuangan yang benar-benar mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Sayangnya, akrual yang ditujukan untuk menjadikan laporan yang sesuai fakta ini sedikit dapat digerakkan (tuned)sehingga dapat mengubah angka laba yang dihasilkan.

2.7 Pengukuran Earning Management

Manajemen laba dapat diukur dengan model DA. Model ini menjelaskan bahwa manajer memiliki diskresi untuk menggunakan akuntansi akrual sebagai alat pengelolaan laba (Jones 1991). Model Jones mengasumsikan bahwa perubahan pendapatan dan aktiva tetap bruto merupakan akrual yang ditimbulkan dari transaksi ekonomi perusahaan dan bersifat tidak dapat dikelola (unmanaged); dalam hal ini, perubahan pendapatan dan aktiva tetap bruto mencerminkan perubahan modal kerja dan biaya penyusutan. Model Jones meregresikan total accruals sebagai fungsi dari perubahan pendapatan dan aktiva tetap. Koefisien regresi ini digunakan untuk mengestimasi NDA. Residual regresi dianggap sebagai DA. Dengan asumsi bahwa perubahan penjualan kredit merupakan peluang manajemen laba, Dechow et al. (1995) memodifikasi model Jones, dengan membuat penyesuaian bahwa perubahan pendapatan harus dikurangi perubahan piutang. Penyesuaian ini untuk mengendalikan kebijakan penjualan kredit. Model Jones modifikasian ini diformulasikan sebagai berikut

DAit/Ait-1 = TAit/Ait-1 – [(50 (1/Ait-l ) + (M [(AREVit – ARECit)/Ait-l[ + (32 (PPEit / Ait-1)]

DAit = discretionary accruals perusahaan i pada tahun t,

Ait-1 = total aktiva perusahaan i pada tahun t-1,

 TAi t = total akrual perusahaan i pada tahun t,

AREVit = perubahan pendapatan perusahaan i dalam tahun t,

 ARECit = perubahan piutang usaha perusahaan i dalam tahun t, dan

PPEit = aktiva tetap bruto perusahaan i pada tahun t.

Model Jones modifikasian merupakan model terbaik dalam pendeteksian manajemen laba (Dechow et al. 1995).

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

           Pemahaman atas Earning Management (Manajemen Laba) dapat di klasifikasian  menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunis manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (oportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

Earning Management dapat terjadi karena tiga faktor yaitu dengan cara: pemanfaatan transaksi akrual, perubahan metoda akuntansi, dan penerapan suatu kebijakan. Earning management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.

Earning management terjadi ketika para manajer menggunakan keputusannya dalam pelaporan keuangan dan dalam melakukan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan baik untuk menimbulkan gambaran yang salah bagi stakeholder tentang kinerja ekonomis perusahaan, ataupun untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang bergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan

Dalam konsep Earning Management yang mempunyai motivasi signaling mencatat discretionary accruals untuk mencerminkan secara lebih baik impak kejadian ekonomi pokok terhadap kinerja perusahaan. Manajemen mencatat discretionary accruals untuk menyampaikan informasi privat mengenai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba di masa yang akan datang, atau agar laba menjadi ukuran yang lebih dapat dipercaya dan tepat waktu mengenai kinerja perusahaan kini daripada laba non discretionary accruals, sementara itu adanya Discretionary accruals disebut juga dengan abnormal accruals sering digunakan sebagai proksi manajemen laba opurtunistik dalam beberapa penelitian sebelumnya sesuai dengan konteksnya masing-masing, tetapi manajer mungkin mempunyai motivasi lain untuk mencatat discretionary accruals yaitu untuk memberikan sinyal mengenai kinerja perusahaan saat ini dan masa yang akan datang.

Adanya Earning Management pada entitas bisnis tidak terlepas dari berbagai macam atau faktor motivasi yang mendasarinya adapun beberapa motivasi yang terkait dengan pelaksanaan Earning Manajemen yakni,motivasi bonus,motivasi politik,motivasi perpajakan,motivasi pergantian chief executif officer (CEO),motivasi initial public offering (IPO), motivasi perjanjian hutang, dan motivasi untuk memenuhi ekspektasi dan mempertahankan reputasi, selain itu terdapat beberapa langkah atau cara yang di lakukan oleh entitas bisnis terkait dengan earning manajemen yaitu dengan Taking a bath, Income Minimization, Income Minimization dan Income Smoothing.

Manajemen laba (Earning Management) dapat diukur dengan model DA. Model ini menjelaskan bahwa manajer memiliki diskresi untuk menggunakan akuntansi akrual sebagai alat pengelolaan laba (Jones 1991). Model Jones mengasumsikan bahwa perubahan pendapatan dan aktiva tetap bruto merupakan akrual yang ditimbulkan dari transaksi ekonomi perusahaan dan bersifat tidak dapat dikelola (unmanaged); dalam hal ini, perubahan pendapatan dan aktiva tetap bruto mencerminkan perubahan modal kerja dan biaya penyusutan. Model Jones meregresikan total accruals sebagai fungsi dari perubahan pendapatan dan aktiva tetap. Koefisien regresi ini digunakan untuk mengestimasi NDA.

3.2 Saran

      Dari pembahasan Earning Management yang terdapat dalam makalah ini maka penulis dapat memberikan saran terkait dengan pengembagan dan pengawasan Earning Magement pada entitas bisnis :

      Pertama, Earning Management merupakan salah satu bentuk praktek akuntansi yang ada pada entitas bisnis khususnya banyak terdapat pada perusahaan manufaktur, oleh karena itu penulis menyarankan agar kiranya kedepan peneliti yang tertarik untuk mengetahui konsep earning manajemen lebih dalam lagi melakukan penelitian pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa.

     Kedua, Karena dalam implementasinya konsep earning management tidak terlepas dari akuntansi acrual yang terdiri dari  non discretionary accruals dan discretionary accruals di mana sangat sulit untuk mendeteksi discretionary accruals yang dimiliki oleh seorang manajer maka dibutuhkan suatu formula pengawasan terhadap perusahaan yang lebih dapat menjangkau sisi yang selama ini tidak di ketahui oleh pihak eksternal terkait dengan Earning managemen, maka di sarankan bagi peneliti atau siapapun yang akan melakukan risearch terkait dengan earning manajemen maka sebaiknya meniliti sistem atau proses pengawasan pihak external (pemilik perusahaan) terkait dengan earning manajemen yang di lakukan oleh perusahaan dalam hal ini manajer.

 

 

 DAFTAR PUSTAKA

Demski,J., dan D.E.M. Sappington, ”Fully Revealing Income Measurement,” The Accounting Review (April 1990),pp.363-383

 Eko Widodo Lo, “ Manajemen Laba : Suatu sintesa Teori”, Jurnal Akuntansi dan manajemen, Vol. XVI, No. 3, Desember 2005, pp. 173-181

 Healy Paul M. (1985). “The Effect of Bonus Schemer on Accounting Discretions”. Journal of Accounting and Economics Vol. 7 : 85-107

 Healy, P.M., and Palepu. K. G. 2001. Information Asymmetry, Corporate Disclosure, and the Capital Markets: A Review of the Empirical Disclosure Literature. Journal of Accounting and Economics 31 (1-3): 405-440.

 Jones, Jennifers (1991), “Earnings Management During Import Relief Investigation”.

Journal of Accounting Research 29 Autumn. p. 193-228.

 Scott, William R. (1997). “ Financial Accounting Theory”. New Jersey Prentice-Hall International, A Simon Schuster Company. Upper Suddle River. p 38-39

 Scott, W.R. 2012. Financial Accounting Theory. Toronto, Ontario: Pearson

       Education, inc. Canada.

 Sugiri, Slamet (1998). “Earning Management : Teori, Model, dan Bukti Empiris”. Telaah, hal 1-18

 Surifah. (2001). “Studi tentang Indikasi Unsur Manajemen Laba pada Laporan Keuangan Perusahaan Publik di Indonesia”. Jurnal Akuntansi dan Auditing. Vo. 5. No. 1. Juni. Hal. 81-99

 Suwardjono. 2005. Seri Teori Akuntansi : pelaporan akuntansi keuangan. Ed. 3 Yogyakarta: BPFE

 Widyaningdyah. (2001). “ Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Earnings Management pada Perusahaan Go Public di Indonesia”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol 03. No. 02. November 2001. hal. 89-101

Yan Z Hang, Pinghsun Huang, Donald R Deis Jr, Jacquelyn, and Sue Moffitt, “ Relationship between discretionary accruals and value of firm, Oktober 2005.